# Ketika sendirian di negeri orang.
Cerita
‘petualangan’ saya ketika mendapat beberapa kali kesempatan mengikuti pelatihan
di Jerman, Belanda, Yunani dan China.
“
Make the most of life you may, life is
short and wears away” _Oldys.
Maksimalkan
hidup Anda ke arah yang positif, karena hidup ini singkat dan cepat berlalu.
Juli 1983.
Frankfurt Airport,
awal musim panas.
Saya
berjalan sepanjang lorong yang terasa asing, dengan suara-suara yang sama
sekali asing hanya dipandu neon sign
dalam bahasa Jerman yang kebanyakan tidak saya fahami, masih beruntung ada
petunjuk berupa gambar. Hari masih terlalu pagi, airport yang sangat luas terasa sangat lengang; yang tampak hanya
petugas keamanan yang tidak terlalu mencolok juga beberapa petugas kebersihan on-duty.
Nyaris tidak bisa
dipercaya seorang anak desa, dari lereng gunung bisa berada di sini, di
Bandar Udara Internasional Frankfurt am Main kadang juga disebut sebagai Bandara Rhein-Main yang konon bandara terbesar
di Jerman juga sebagai Frankfurt-Flughafen yang merupakan bagian kota mandiri dari kota
otonom Frankfurt am Main.
Bandara ini memiliki
tiga landasan-pacu, dua landasan parallel sepanjang 4.000 meter dan lebar 60
meter, sementara landasan Selatan lebarnya 45 meter dengan dua bahu di
kiri-kanannya masing-masing 7.5 meter, sama seperti halnya landas pacu di
sebelah Barat.
Ketiga landasan ini
tidak bisa digunakan secara mandiri satu-sama lainnya paling tidak pada waktu
yang bersamaan; landas pacu yang memiliki jarak 518 meter satu sama lainnya
hanya bisa digunakan secara estafet saja, hal ini berkaitan dengan aspek
keselamatan penerbangan karena turbolensi yang terjadi pada setiap pendaratan
bisa mengganggu pesawat lainnya.
Bandara Frankfurt
adalah salah-satu bandara dunia yang sudah menggunakan system pengurusan bagasi
otomatis sejak tahun 1972.
Flight
ke Nuerenberg masih 3 jam lagi, waktu
terasa beringsut bagai siput di negeri entah-berantah ini, tapi saya berusaha
keras untuk melawan kejenuhan, berusaha think
positive; “ Ini kesempatan istimewa, tidak banyak orang yang mendapat
kesempatan menginjak negeri ini, apalagi secara cuma-cuma seperti dirimu Man …” saya coba menguatkan diri
sendiri.
Memang
ini adalah tawaran kesempatan yang ketiga kali yang ditawarkan manajemen kepada
saya. Tawaran pertama datang bertepatan dengan bulan Ramadhan, saya masih bisa menolak dengan alasan yang sangat reasonable, bahwa berat berpuasa di
negeri orang yang mayoritas komunitasnya bukan muslim, manajemen bisa
memahaminya. Padahal saya berharap menunggu teman-teman Jerman saya yang biasa
melakukan kunjungan dan bimbingan teknis berkala ke pabrik Indonesia, sehingga
ada teman di perjalanan. Ternyata tahun ini karena satu dan lain hal, kunjungan
tersebut ditunda untuk waktu yang tidak ditentukan.
Sebelumnya,
saya memang telah “diracuni” cerita-cerita negative
tentang orang Jerman yang konon ‘Uber
Alles”, mereka sombong, pongah dan menganggap sebagai ras paling istimewa
di bumi ini. Tentu saja awalnya saya mempercayai-nya, mengingat yang punya
cerita adalah senior saya yang lama
sekolah dan sempat bekerja di Jerman sebelumnya. Hal ini juga yang membuat saya
“mengulur” keberangkatan ke Jerman, untuk menguatkan mental inlander saya.
Sebelum
berangkat tentu saja saya tidak lupa mohon do’a restu dari orang-tua; berdo’a
agar Tuhan memudahkan dan melancarkan urusan saya.
Saya
berangkat dengan maskapai penerbangan Lufthansa,
masih menggunakan Bandara Internasional Halim Perdanakusuma, transit di
Singapore dan Mumbai, kemudian landing
di Frankfurt Flughafen. Perjalanan
pertama mengarungi pergaulan antar-bangsa bagi seorang anak desa nun jauh di
sana di lereng gunung yang mungkin tak tertera dalam peta-dunia.
Puji
syukur ke hadirat Allah SWT, Allah mendengar do’a saya, sangat mungkin juga
do’a kedua orang-tua, saudara dan sahabat-sahabat saya; saya mulai menyadarinya
ketika kami transit di Mumbai, karena pesawat yang kami tumpangi banyak teman,
anak-anak muda, sarjana Indonesia yang
dikirim oleh pak Habibie untuk belajar di Jerman. Bukan Cuma itu, ternyata ada
juga seorang ibu bule Jerman yang sudah tinggal 20 tahun di Indonesia, beliau
importir teh; nampaknya Allah telah “mengirimkan” seorang pemandu buat saya
juga buat ‘anak-anak’-nya pak Habibie yang rata-rata baru pertama ke Jerman,
bahkan mungkin baru pertama kali naik pesawat. Saya lupa mencatat nama beliau,
tapi saya ingin mengenangnya sebagai ibu Helma, sebuah nama jerman yang berarti
“mempunyai sifat melindungi”.
Perjalanan
ini kelak akan jadi kenangan abadi dan akan tertinggal di salah satu bilik
labirin dalam otak kami masing-masing.
Saya
harus berpisah dengan ‘anak-anak’-nya pak Habibie, karena saya harus
melanjutkan perjalanan ke Nurnberg
dengan penerbangan domestik 3 jam kemudian.
Ternyata
pesawat yang menerbangkan kami adalah pesawat kecil seukuran Metro-mini, dengan
baling-baling di sayap kanan-dan kirinya, dan membuat saya takjub pada waktu
itu, penerbangnya seorang cewek semampai khas cewek bule jerman, cantik
berambut pirang yang selalu menebar senyum, membuat pagi yang semula
membosankan menjadi cerah-ceria.
Jarak
dari Frankfurt Airport ke Nurnberg Airport adalah 223 km; kalau
ditempuh lewat darat memerlukan waktu sekitar hampir 2.5 jam; tapi perusahaan
telah mengatur perjalanan saya dengan penerbangan domestik yang hanya
membutuhkan waktu 50 menit saja.
Setelah
melewati pemeriksaan di douane orang
jerman menulisnya sebagai zoll saya
menyusuri pintu keluar. Kejutan berikut muncul, semula saya membayangkan bahwa
yang akan menjemput saya adalah seorang sopir, bule jerman dengan membawa karton bertuliskan nama saya, ternyata
yang menjemput saya adalah seorang Technical
Director dengan tangan terkembang: “ Willkommen
in Deutschland, Leider kann ich nicht in Frankfurt abholen …” kami berpelukan
bagaikan seorang sahabat lama. Kejutan berikutnya ternyata beliau sendiri yang
mengangkat koper saya dan memasukkannya ke dalam bagasi mobil BMW 7 (E23)
berwarna biru-tua, sedan 4 pintu yang merupakan seri BMW terbaru waktu itu.
Jarak
dari Nurnberg Airport ke kantor pusat
(Head Quarter) di Hoffmanstrasse kurang lebih hanya 12 km,
lalu-lintas agak padat, tetapi lancar dan tertib tidak seperti di Jakarta. Kami
meluncur ke arah Selatan, menyusuri Marienbergstrasse, belok kiri ke Erlangerstrasse, belok kanan ke arah
Barat Nordwestring, Theodor-Heuss Bruecke, tembus Maximilianstrasse, belok kiri ke Frankenschnellweg, menyusuri jalan N4,
belok ke kanan, lalu ke kiri lagi menapaki Heisterstrasse,
melewati Volckamerplatz, belok kanan,
lalu setelah belok kiri, sampailah kami di kantor pusat. Dari sinilah kegiatan
perusahaan dan anak-anak perusahaan yang ada di luar Jerman dikendalikan.
Seorang
sekretaris muda, cantik, tentu saja cewek
bule berambut pirang, menyambut saya, menyampaikan permohonan maaf bila boss-nya tidak bisa menyambut kedatangan
saya, karena sedang berlibur sambil berburu di Siberia. Ini adalah kejutan
ke-tiga, karena: “saya mah apah atuh ?”.
Sementara saya pada waktu itu “hanya” seorang Junior-engineer, sementara sekretaris tadi menyampaikan pesan dari The-Owner, pemilik saham mayoritas;
sungguh ini “Deutsch Gastfreundschaft”
keramahan Jerman yang sebelumnya berada di luar nalar, setelah saya di”racuni”
senior.
Ini
pengalaman saya yang pertama ke luar-negeri walaupun dikemudian hari saya
mendapat beberapa kali kesempatan ke luar-negeri tetapi kesempatan yang paling berkesan adalah yang pertama ini,
kenangannya mengendap dan mengkristal memenuhi hippocampus.
“ Terima kasih Tuhan, dengan
kuasa-Mu, Engkau telah mengantarkan saya ke negeri jauh ini, negeri yang semula
hanya berada dalam angan dan mimpi saya, yang juga mungkin mimpi banyak orang
lainnya”.
“Ya Allah, aku senantiasa memohon
kepada-Mu petunjuk, ketaqwaan, kesucian tubuh dan kekayaan jiwa”.
“Ya Allah, sebagaimana Engkau telah
menggembirakan aku di dunia, maka gembirakanlah aku di akhirat nanti “.
“ Ya Allah, aku berlindung pada-Mu
dari hilangnya nikmat karunia-Mu, perubahan kesehatan dari-Mu, kesegeraan
balasan siksa-Mu dan dari semua kemurkaan-Mu”.
“ Ya Allah, sesungguhnya aku
memohon pada-Mu segala kebaikan, yang cepat atau yang lambat, yang aku ketahui
atau yang tidak aku ketahui, dan aku berlindung pada-Mu dari segala keburukan,
yang cepat atau lambat, yang cepat atau lambat, yang aku ketahui atau yang
tidak aku ketahui”.