# Ketika air-mata emak menetes di
atas rumput pagi.
Menceritakan
kisah bagaimana perjuangan ibu berusaha mendapatkan pinjaman untuk membiayai
saya masuk sekolah lanjutan tingkat pertama.
“
He who receives a good turn should never
forget it; he who does one should never remember it “
_Charron.
Bila
Anda diberi, jangan pernah lupa; jika Anda memberi jangan pernah diingat.
Desember
1966.
Udara
yang basah dan dingin menusuk tulang-sumsum tidak menyurutkan langkah emak di
atas pematang yang masih berembun. Sesekali menyibakkan ujung kerudung yang
menghalangi pandangannya. Aku memandanginya dari depan rumah sampai hilang
dikelokan.
Kemarin
saya melihat emak terlibat pembicaraan serius dengan pak guru Emir, setelah
mengabarkan berita kelulusan saya dari sekolah dasar negeri dengan nilai yang
menggembirakan; beliau menyarankan agar saya melanjutkan sekolah ke sekolah
lanjutan yang ada di kota kewedanaan, jaraknya kurang lebih 2 km dari rumah
kami.
Keadaan
ekonomi keluarga saat itu sedang sangat buruk, bukan saja karena situasi
keamanan dalam negeri yang sedang tidak menentu dan chaos; berita penculikan, penangkapan tokoh-tokoh terjadi di
berbagai daerah. Aksi demonstrasi mahasiswa marak di kota-kota besar yang konon
digerakan oleh tentara, khususnya Angkatan Darat yang memuncak selama kuartal
kedua tahun 1966 sebelum akhirnya mulai menurun eskalasinya pada awal tahun
berikutnya.
Tidak
banyak, bahkan mungkin langka bagi anak seumuran saya pada waktu itu, yang
mengikuti update informasi, karena saya
selalu punya waktu untuk ‘nongkrong’
dan menumpang baca Koran Harian Rakjat di kios cukur Kang Toha di jalan-cagak. Saya masih ingat jargon Koran itu “ Untuk rakjat hanja ada satu harian, Harian Rakjat”. Belakangan
saya baru tahu bahwa Koran itu adalah media resmi Partai Komunis Indonesia yang
kemudian dilarang oleh pemerintah.
Wanci haneut moyan
(kurang lebih jam delapan pagi waktu tatar-sunda), saya melihat emak di
kejauhan, nampaknya beliau arah pulang dari Cimanglid tempat kakak laki-laki tertuanya
tinggal. Mukanya tertunduk sesekali nampak seperti menyeka wajahnya. Setelah
semakin dekat saya baru melihat dengan jelas, bahwa emak menangis, rupanya emak
menangis sepanjang jalan perjalanan pulang.
Sesampainya
di depan rumah beliau merangkul saya sambil berkata: “ Sabar dulu ya … Emak belum berhasil mendapatkan pinjaman, uwakmu
tidak setuju kamu melanjutkan sekolah, karena akan menjadi beban, karena kita
bukan orang kaya …” . Matanya tampak sembab, nafasnya tersengal seperti
menahan beban teramat berat. “ Kita
memang bukan orang kaya, emak cuma ingin mengikuti nasihat pak guru Emir yang
mewanti-wanti agar kamu tidak berhenti sekolah sampai di sekolah dasar saja;
dan Emak tidak akan marah kalau mereka tidak meminjami kita uang; tapi yang
membuat Emak marah adalah ketika Uwakmu bilang, masa anak bebek mau jadi elang
???, sakit hati Emak …” tangisnya semakin menjadi-jadi.
Saya
terlongong di sudut ruangan, sambil memeluk lutut; adik-adik mendekat dan
memeluk ibu, tapi mereka belum mengerti apa yang sedang terjadi.
Sepasang
cicak berlarian di dinding sampai yang dikejar hilang sembunyi di rekahan
dinding papan yang terbuat dari kayu albasia.
Terbayang
rumah besar berada di atas balong (empang) berisi ikan-ikan kecil dan besar
dari jenis ikan mas dan gurame. Saya dan adik saya nomor tiga yang sering
memasok daun-keladi untuk pakan ikan ini; kami jalan beriringan melewati
pematang sawah, terus melewati jalan desa berupa tanah dan batu pecah yang
dikeraskan, belum ada jalan beraspal ketika itu. Kadang-kadang kami juga
membawakan daun nangka kesukaan kambing peliharaan uwa yang kandangnya ditaruh
di sisi lain dari balong besar. Pada bagian ini saya tersenyum kecut karena
beberapa kali kami sempat dihadang dan dikejar kambing bandot di jalan yang
membuat kami harus tunggang-langgang menyelamatkan bawaan kami. Pernah kaki
kami babak-belur karena lutut kami kena “ampelas” jalan berbatu itu, untung saja
kami ditolong oleh seorang bapak yang bisa mengusir “perampok-ganas” itu.
Uwa
kami adalah pemilik rumah-makan di depan alun-alun kota kewedanaan yang cukup
terkenal kala itu. Pelanggannya umumnya sopir-sopir angkutan, bus juga
kusir-kusir sado yang mangkal di salah satu sisi alun-alun; juga para pedagang
dan orang-orang yang belanja di pasar.
Nenek
kami, membantu di rumah makan ini sebagai juru-masak. Biasanya nenek berangkat
selepas shalat Subuh, wanci-balebat dan baru kembali wanci
panonpoe-satangtung (kurang lebih jam 15:00 waktu tatar-sunda); kami
menyambut kepulangan nenek dengan sangat antusias karena biasanya nenek membawa
pulang kepala ikan dan bumbunya yang sangat lezat untuk ukuran lidah kami pada
waktu itu. Belakangan kami baru tahu bahwa kepala ikan itu dikumpulkan nenek
dari sisa makanan pelanggan yang tidak dimakan.
Waktu
itu Bapa bekerja di Jakarta, sebelumnya Bapa bekerja sebagai seorang sopir di
perusahaan importir suku-cadang kendaraan milik orang China. Tapi dalam suasana
chaos keluarga pemilik perusahaan
pilih hengkang ke Singapura mencari aman.
Tidak
terlalu lama bagi saya untuk memahami apa yang disampaikan emak tadi. Kakak
laki-laki tertua emak adalah pemilik rumah-makan yang cukup terkenal se-kewedanaan
pada waktu itu, beliau memiliki 3 putera dan 1 puteri, sekalipun beliau orang
terpandang tapi tak seorangpun dari putera-puterinya lanjut pendidikannya.
Hanya yang tertua saja yang disekolahkan di sekolah perawat, yang kemudian
dikenal sebagai Kang Mantri (bukan Menteri).
Masih
pada hari itu juga, Wanci tunggang-gunung
(sekira jam16:00-17:00) ketika matahari mulai friendly, saya lihat emak bergegas,: “ Emak mau ketemu Uwa Ikuk dan Uwa Anjan, do’akan Emak ya …”
katanya sambil mengelus kepala saya.
Lepas
Maghrib, Emak sudah kembali ke rumah,
wajah-nya sumringah; kembali memeluk
saya, wangi minyak kemiri dari rambutnya masih melekat dalam labirin memori
saya yang paling dalam, : “
Alhamdulillah, uwa-mu di Pasar-Baru mau membantu kita …” katanya lega.
Kembali
air-mata berderai membasahi pipi-nya, kali ini air-mata mewakili perasaan lega,
sebahagian beban sudah ada yang bantu memikulnya.
Dan
suara adzan shalat Isya dari masjid ustadz Solihin terasa sangat merdu,
menghapus rasa pilu ganti dengan rasa gembira yang mengharu-biru.
Uwa
Ikuk dan uwa Anjan adalah sepupu Emak yang berjualan buah-buahan di pasar,
beliau dan putera-puterinya tinggal di daerah yang disebut Pasar Baru, sebelah
Timur dari pasar tempat mereka berjualan.
Nama-nama
yang saya sebutkan dalam kisah ini adalah nama-nama penting yang turut mewarnai
jalan hidup saya kemudian, mereka adalah heroes
bagi saya, yang tak akan pernah saya lupakan sekalipun saya sudah dikafani, subhanallah…
Kepada
uwa yang menolak membantu, saya niatkan untuk tidak menaruh dendam, tanpa
penolakan dari beliau mungkin saya tidak bisa menjadi seperti sekarang; mungkin
saja saya hanya menjadi seperti kebanyakan teman-teman seumuran saya, menjadi
petani penggarap dan tidak sempat mengenal kehidupan multi-nasional seperti
yang kemudian saya alami.
Saya
malah berterima kasih, atas “cambukan” mereka, karena merekalah saya bisa melewati pendidikan di sekolah
menengah pertama negeri terbaik di kewedanaan Singaparna (pada waktu itu)
dengan prestasi yang layak dibanggakan. Sekaligus saya dapat membuktikan bahwa
“anak-bebek” ini bisa menjadi “anak-kuda” walaupun tidak berhasil jadi “anak
Elang”.
Analogi
“anak bebek” dibaca sebagai pengganti “anak-sopir”, sementara “anak Elang”
adalah Pilot yang pernah menjadi cita-cita saya (pada awalnya); sementara
“anak-kuda” adalah istilah yang saya gunakan sebagai analogi “penggerak” karena
kemudian saya “hanya” jadi seorang insinyur-pabrik yang teramat mencintai
pekerjaan saya.
Kepada
uwa yang telah membantu, tentu saja saya menaruh hormat luar-biasa, you both are my heroes bukan saja kepada
mereka, tetapi rasa hormat juga kepada keturunan mereka; tanpa pertolongan
Tuhan melalui tangan-tangan mereka, entah apa jadinya saya; memang semua
terjadi atas kehendak-Nya, yang kemudian jadi jalan hidup saya.
Waktu
saya menulis naskah ini, Emak sudah meninggalkan kami hampir 3 tahun yang lalu,
tapi semangat Emak, belaian tangan Emak, wangi minyak kemiri di rambutnya masih
saya rasakan memenuhi rongga dada saya …
Ya
Allah, ampuni segala dosa mereka, limpahkan Rahmat kepada mereka, hapuskan
kesalahan mereka, maafkanlah segala kehilafan mereka, lapangkan qubur mereka, muliakanlah tempat tinggal
mereka, aamiin ya rabbal ‘alamiin …
Yaa ayyatuhan nafsul muthma’innah.
Irji’ii ila rabbiki raadhiyatam mardhiyyah. Fadkhulii fii’ibaadi. Wad khulii
jannatii …
Wahai jiwa yang tenang. Kembalilah
kepada Tuhanmu, dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam
jama’ah hamba-hamba-Ku. Dan masuklah ke dalam syurga-Ku
(Q.S
Al-Fajr (89) ayat 27-30)
No comments:
Post a Comment