Monday, July 25, 2016

1. # Ketika air-mata emak menetes di atas rumput pagi.

# Ketika air-mata emak menetes di atas rumput pagi.

Menceritakan kisah bagaimana perjuangan ibu berusaha mendapatkan pinjaman untuk membiayai saya masuk sekolah lanjutan tingkat pertama.

He who receives a good turn should never forget it; he who does one should never remember it “
_Charron.
Bila Anda diberi, jangan pernah lupa; jika Anda memberi jangan pernah diingat.


Desember 1966.

Udara yang basah dan dingin menusuk tulang-sumsum tidak menyurutkan langkah emak di atas pematang yang masih berembun. Sesekali menyibakkan ujung kerudung yang menghalangi pandangannya. Aku memandanginya dari depan rumah sampai hilang dikelokan.

Kemarin saya melihat emak terlibat pembicaraan serius dengan pak guru Emir, setelah mengabarkan berita kelulusan saya dari sekolah dasar negeri dengan nilai yang menggembirakan; beliau menyarankan agar saya melanjutkan sekolah ke sekolah lanjutan yang ada di kota kewedanaan, jaraknya kurang lebih 2 km dari rumah kami.

Keadaan ekonomi keluarga saat itu sedang sangat buruk, bukan saja karena situasi keamanan dalam negeri yang sedang tidak menentu dan chaos; berita penculikan, penangkapan tokoh-tokoh terjadi di berbagai daerah. Aksi demonstrasi mahasiswa marak di kota-kota besar yang konon digerakan oleh tentara, khususnya Angkatan Darat yang memuncak selama kuartal kedua tahun 1966 sebelum akhirnya mulai menurun eskalasinya pada awal tahun berikutnya.

Tidak banyak, bahkan mungkin langka bagi anak seumuran saya pada waktu itu, yang mengikuti update informasi, karena saya selalu punya waktu untuk ‘nongkrong’ dan menumpang baca Koran Harian Rakjat di kios cukur Kang Toha di jalan-cagak. Saya masih ingat jargon Koran itu “ Untuk rakjat hanja ada satu harian, Harian Rakjat”. Belakangan saya baru tahu bahwa Koran itu adalah media resmi Partai Komunis Indonesia yang kemudian dilarang oleh pemerintah.

Wanci haneut moyan (kurang lebih jam delapan pagi waktu tatar-sunda), saya melihat emak di kejauhan, nampaknya beliau arah pulang dari Cimanglid tempat kakak laki-laki tertuanya tinggal. Mukanya tertunduk sesekali nampak seperti menyeka wajahnya. Setelah semakin dekat saya baru melihat dengan jelas, bahwa emak menangis, rupanya emak menangis sepanjang jalan perjalanan pulang.

Sesampainya di depan rumah beliau merangkul saya sambil berkata: “ Sabar dulu ya … Emak belum berhasil mendapatkan pinjaman, uwakmu tidak setuju kamu melanjutkan sekolah, karena akan menjadi beban, karena kita bukan orang kaya …” . Matanya tampak sembab, nafasnya tersengal seperti menahan beban teramat berat. “ Kita memang bukan orang kaya, emak cuma ingin mengikuti nasihat pak guru Emir yang mewanti-wanti agar kamu tidak berhenti sekolah sampai di sekolah dasar saja; dan Emak tidak akan marah kalau mereka tidak meminjami kita uang; tapi yang membuat Emak marah adalah ketika Uwakmu bilang, masa anak bebek mau jadi elang ???, sakit hati Emak …” tangisnya semakin menjadi-jadi.

Saya terlongong di sudut ruangan, sambil memeluk lutut; adik-adik mendekat dan memeluk ibu, tapi mereka belum mengerti apa yang sedang terjadi.

Sepasang cicak berlarian di dinding sampai yang dikejar hilang sembunyi di rekahan dinding papan yang terbuat dari kayu albasia.

Terbayang rumah besar berada di atas balong (empang) berisi ikan-ikan kecil dan besar dari jenis ikan mas dan gurame. Saya dan adik saya nomor tiga yang sering memasok daun-keladi untuk pakan ikan ini; kami jalan beriringan melewati pematang sawah, terus melewati jalan desa berupa tanah dan batu pecah yang dikeraskan, belum ada jalan beraspal ketika itu. Kadang-kadang kami juga membawakan daun nangka kesukaan kambing peliharaan uwa yang kandangnya ditaruh di sisi lain dari balong besar. Pada bagian ini saya tersenyum kecut karena beberapa kali kami sempat dihadang dan dikejar kambing bandot di jalan yang membuat kami harus tunggang-langgang menyelamatkan bawaan kami. Pernah kaki kami babak-belur karena lutut kami kena “ampelas” jalan berbatu itu, untung saja kami ditolong oleh seorang bapak yang bisa mengusir “perampok-ganas” itu.

Uwa kami adalah pemilik rumah-makan di depan alun-alun kota kewedanaan yang cukup terkenal kala itu. Pelanggannya umumnya sopir-sopir angkutan, bus juga kusir-kusir sado yang mangkal di salah satu sisi alun-alun; juga para pedagang dan orang-orang yang belanja di pasar.

Nenek kami, membantu di rumah makan ini sebagai juru-masak. Biasanya nenek berangkat selepas shalat Subuh, wanci-balebat dan baru kembali  wanci panonpoe-satangtung (kurang lebih jam 15:00 waktu tatar-sunda); kami menyambut kepulangan nenek dengan sangat antusias karena biasanya nenek membawa pulang kepala ikan dan bumbunya yang sangat lezat untuk ukuran lidah kami pada waktu itu. Belakangan kami baru tahu bahwa kepala ikan itu dikumpulkan nenek dari sisa makanan pelanggan yang tidak dimakan.

Waktu itu Bapa bekerja di Jakarta, sebelumnya Bapa bekerja sebagai seorang sopir di perusahaan importir suku-cadang kendaraan milik orang China. Tapi dalam suasana chaos keluarga pemilik perusahaan pilih hengkang ke Singapura mencari aman.

Tidak terlalu lama bagi saya untuk memahami apa yang disampaikan emak tadi. Kakak laki-laki tertua emak adalah pemilik rumah-makan yang cukup terkenal se-kewedanaan pada waktu itu, beliau memiliki 3 putera dan 1 puteri, sekalipun beliau orang terpandang tapi tak seorangpun dari putera-puterinya lanjut pendidikannya. Hanya yang tertua saja yang disekolahkan di sekolah perawat, yang kemudian dikenal sebagai Kang Mantri (bukan Menteri).

Masih pada hari itu juga, Wanci tunggang-gunung (sekira jam16:00-17:00) ketika matahari mulai friendly, saya lihat emak bergegas,: “ Emak mau ketemu Uwa Ikuk dan Uwa Anjan, do’akan Emak ya …” katanya sambil mengelus kepala saya.

Lepas Maghrib, Emak sudah kembali ke rumah, wajah-nya sumringah; kembali memeluk saya, wangi minyak kemiri dari rambutnya masih melekat dalam labirin memori saya yang paling dalam, : “ Alhamdulillah, uwa-mu di Pasar-Baru mau membantu kita …” katanya lega.

Kembali air-mata berderai membasahi pipi-nya, kali ini air-mata mewakili perasaan lega, sebahagian beban sudah ada yang bantu memikulnya.

Dan suara adzan shalat Isya dari masjid ustadz Solihin terasa sangat merdu, menghapus rasa pilu ganti dengan rasa gembira yang mengharu-biru.

Uwa Ikuk dan uwa Anjan adalah sepupu Emak yang berjualan buah-buahan di pasar, beliau dan putera-puterinya tinggal di daerah yang disebut Pasar Baru, sebelah Timur dari pasar tempat mereka berjualan.

Nama-nama yang saya sebutkan dalam kisah ini adalah nama-nama penting yang turut mewarnai jalan hidup saya kemudian, mereka adalah heroes bagi saya, yang tak akan pernah saya lupakan sekalipun saya sudah dikafani, subhanallah

Kepada uwa yang menolak membantu, saya niatkan untuk tidak menaruh dendam, tanpa penolakan dari beliau mungkin saya tidak bisa menjadi seperti sekarang; mungkin saja saya hanya menjadi seperti kebanyakan teman-teman seumuran saya, menjadi petani penggarap dan tidak sempat mengenal kehidupan multi-nasional seperti yang kemudian saya alami.

Saya malah berterima kasih, atas “cambukan” mereka, karena merekalah  saya bisa melewati pendidikan di sekolah menengah pertama negeri terbaik di kewedanaan Singaparna (pada waktu itu) dengan prestasi yang layak dibanggakan. Sekaligus saya dapat membuktikan bahwa “anak-bebek” ini bisa menjadi “anak-kuda” walaupun tidak berhasil jadi “anak Elang”.

Analogi “anak bebek” dibaca sebagai pengganti “anak-sopir”, sementara “anak Elang” adalah Pilot yang pernah menjadi cita-cita saya (pada awalnya); sementara “anak-kuda” adalah istilah yang saya gunakan sebagai analogi “penggerak” karena kemudian saya “hanya” jadi seorang insinyur-pabrik yang teramat mencintai pekerjaan saya.

Kepada uwa yang telah membantu, tentu saja saya menaruh hormat luar-biasa, you both are my heroes bukan saja kepada mereka, tetapi rasa hormat juga kepada keturunan mereka; tanpa pertolongan Tuhan melalui tangan-tangan mereka, entah apa jadinya saya; memang semua terjadi atas kehendak-Nya, yang kemudian jadi jalan hidup saya.

Waktu saya menulis naskah ini, Emak sudah meninggalkan kami hampir 3 tahun yang lalu, tapi semangat Emak, belaian tangan Emak, wangi minyak kemiri di rambutnya masih saya rasakan memenuhi rongga dada saya …

Ya Allah, ampuni segala dosa mereka, limpahkan Rahmat kepada mereka, hapuskan kesalahan mereka, maafkanlah segala kehilafan mereka, lapangkan qubur mereka, muliakanlah tempat tinggal mereka, aamiin ya rabbal ‘alamiin …
Yaa ayyatuhan nafsul muthma’innah. Irji’ii ila rabbiki raadhiyatam mardhiyyah. Fadkhulii fii’ibaadi. Wad khulii jannatii …
Wahai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu, dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama’ah hamba-hamba-Ku. Dan masuklah ke dalam syurga-Ku
(Q.S Al-Fajr (89) ayat 27-30)

No comments:

Post a Comment