#
Cinta yang terlalu cepat pergi.
Kisah
cinta suci yang tertikam belati.
“
Without respect, Love can not go far”
_Alexandre Dumas.
Tanpa
rasa hormat, cinta-kasih tak akan bisa bertahan lama.
30
April 1975
Giai phong mien Nam
(bahasa Vietnam : Pembebasan Selatan) atau dalam buku sejarah dikenal juga
sebagai jatuhnya Saigon, ibukota Republik Vietnam (Vietnam Selatan) yang
diserang oleh Angkatan Bersenjata Rakyat Vietnam atau angkatan bersenjata
Republik Demokratik Vietnam (Vietnam Utara). Kejadian ini disebut juga sebagai
Insiden 30 April yang mengakhiri Perang Indochina kedua dan dimulainya periode
re-unifikasi Vietnam dibawah kepemimpinan Komunis.
Jenderal
Nguyen Van Toan dan pasukannya tidak
berhasil mempertahankan kota Saigon yang dihujani oleh tembakan artileri berat
oleh pasukan Vietnam Utara yang dipimpin Jenderal Van Dien Dung sejak kemarin. Tembakan artileri berat itu diarahkan
ke berbagai sarana vital di Saigon, termasuk bandara Tan Son Nhut, menewaskan puluhan orang termasuk diantaranya dua
orang GI Joe.
Begitu
cerita yang saya dapat dari kawan saya Joe membuka obrolan makan siang di
kantin pabrik hari Rabu siang itu. Ternyata itu adalah obrolan pembuka saja,
karena selebihnya Joe mengisahkan kisah yang cukup menarik yang akan kita simak
berikut ini.
Namanya
Joe, sebenarnya nama lengkapnya Jumadi, lahir dan besar di Geger-Hanjuang,
Pasir Ipis, Desa Linggasirna di lereng gunung Guntur, Garut. Tapi sejak
merantau ke Jakarta dan diaku saudara-angkat oleh Pieter Ambon, biar keren dia
minta dipanggil Joe saja, katanya.
Pieter
Ambon itu, memang orang Ambon, dia supervisor di pabrik tempat Joe bekerja.
Kenapa
mau-maunya Pieter Ambon ini mengangkat Joe sebagai adik-angkatnya, semua orang
di pabrik tahu, Joe memang orangnya asyik, menyenangkan, disamping ramah,
penurut juga sangat ringan tangan
sebagian besar menyenanginya kecuali cewel-cewek yang merasa di PHP oleh Joe
tentunya.
“
Kayaknya gw lagi “falling in love”
deh Brow …” katanya serius.
“
Kalo lu jatuh cinta, so what gitu loch
??? …” jawabku setengah acuh.
“
Masalah-nya, nyokap gw gak setuju …” masih dengan muka serius.
“
Loe khan cowok, gak perlu pake Wali, kenapa loe jadi-in masalah ?” aku coba
ngomporin.
“
Yang bikin jadi masalah ini nyokap gw, bukan gw … loe nyimak gak sih !” dia
mulai darting, suatu hal yang jarang terjadi pada orang ini; aku faham kali ini
dia sungguh-sungguh serius.
“
Loe udah tanya, apa yang jadi
keberatan nyokap loe ?” kali ini aku
juga serius, dan mencoba jadi seorang teman yang bijak.
“
Nyokap gw percaya takhayul, hari gini
masih ada yang percaya takhayul, kagak
ngerti gw …” katanya sambil tangan kanannya memukul kepalanya beberapa
kali.
“
Dah, ntar kalo loe gegar otak abis ngobrol sama gw ntar gw yang disalahin, terus bisa-bisa gw dijadiin tersangka dweh
…” aku coba menghiburnya.
Menurut
cerita Joe, dia sudah pedekate dengan
seorang gadis anak tentara berasal dari daerah Jawa, melalui pendekatan yang
tidak mudah pada awalnya karena orang tua ceweknya
tinggal di suatu komplek militer yang terkenal sangar pada jamannya.
Karena
penampilan dan tutur-kata yang gimana-gitu,
justru yang pertama “jatuh-cinta” adalah kedua orang-tuanya. Hal ini ditandai
dengan dengan kata-kata: “ Sering-sering datang, main kesini nak….” dengan pede Joe menyampaikannya pada saya.
Memang
nyaris tidak dapat dipercaya, kalau kata anak-sekarang, Joe yang unyu dan cupu, bisa kencan di komplek militer yang sangar dan diterima manis
oleh keluarga tentara berpangkat Kapten. Bisa dikatakan ini adalah keajaiban
dunia yang ke 8; Subhanallah …
Di
satu pihak ibu Joe yang Garut bingit
punya pendapat lain, kisah perang Bubat
yang dituturkan lewat Kidung Sunda oleh
orang-orang tua dulu kepada anak-anak gadisnya sebelum tidur, nampaknya sangat
melekat dan terus membekas.
Singkat
cerita, saya lama tidak bertemu Joe karena saya pindah bekerja untuk perusahaan
lain, sementara saya dengar kabar bahwa Joe berselisih dengan pemilik
perusahaan yang melarang Joe bekerja sambil meneruskan kuliah-malam, sehingga
Joe memilih hengkang.
Pernah
suatu masa saya dapat surat yang mengabarkan Joe berhasil menyelesaikan sarjana
teknik mesin yang ditempuhnya dengan susah payah, sampai “berdarah-darah” istilah
dia; beberapa kartu pos dari tempat yang berbeda-beda sempat juga saya terima
dari Joe. Saya senang mendapat kabar baik dari sahabat unyu ini.
12
Mei 1998.
Selasa,
Jam 12:30
Iring-iringan
mahasiswa dalam jumlah besar bergerak
dari berbagai arah menuju gedung DPR/MPR, termasuk juga mahasiswa Trisakti yang
bergerak dari Kampus-nya di Grogol. Aksi mereka dihambat oleh blokade Polri dan
Militer yang datang kemudian. Beberapa mahasiswa berusaha untuk bernegosiasi.
Saya
jumpa Joe di lobby gedung BKPM di Jalan Gatot Subroto, sementara saya sedang
mendampingi seorang teman mengurus perpanjangan izin perusahaan. Karena
mendengar berita seperti di atas, kami tidak sempat bicara banyak, kami saling
bertukar kartu nama dan janji untuk saling menghubungi.
Hari
Sabtu pagi empat hari kemudian setelah kami ketemu di lobby kantor BKPM, Joe
menelepon saya, setelah sedikit berbasa-basi, dia buat janji untuk bertemu
keesokan hari-nya di sebuah tempat makanan cepat-saji di Jalan MT Haryono dekat duty-free
shop, tempat kami biasa kongkow bersama teman-teman ketika masih sama-sama
muda dulu. Sayapun menyanggupinya.
Esok
harinya, sesuai dengan janji yang dibuat kemarin, saya berangkat ke TKP.
Ternyata Joe sudah datang lebih dulu dan menyambut saya dengan tangan
terkembang. Kehangatan yang tulus dari seorang sahabat saya masih merasakannya.
Perawakannya
tidak berubah, cuma sedikit lebih bersih maklum sekarang lebih banyak bekerja
di kantor tidak terlalu sering kerja di luar ruangan, apalagi berjemur seperti
dulu waktu masih mengerjakan proyek. Saya kenal Joe sebagai engineer yang memulai karirnya dari helper sampai Chief Engineer seperti sekarang ini.
Kami
memulai pembicaraan dengan lanjutan kisah kemarin, peristiwa Tragedi Trisakti yang
dalam catatan sejarah merupakan bagian dari Kerusuhan Mei 1998. Kerusuhan bukan
saja terjadi di Jakarta, ternyata juga terjadi di Medan dan Surakarta.
Kerusuhan bukan saja terjadi secara sporadis tetapi juga secara sistematis.
Menurutnya peristiwa ini mirip-mirip peristiwa Kristallnacht di Jerman pada November 1938 yang menjadi awal
penganiayaan terhadap orang-orang Yahudi dan puncaknya pada pembunuhan massal
hampir di seantero benua Eropa oleh pemerintahan Jerman Nazi. Seperti biasanya
Joe bercerita dengan bersemangat dan saya kagum pada detil informasi yang
disampaikan sekaligus membuktikan keluasan pengetahuannya.
“Sudahlah,
itu urusan politik, biar para politikus dan ahli sejarah yang mencatat-nya;
sebenarnya saya mengundang kamu, bukan mau cerita politik, tapi mau
menyampaikan hal yang sangat penting ..” kalimat tersebut diakhiri elahan nafas
panjang.
“
Loe mau ngajak gw kerja ?? “ tanyaku.
“Bukan,
karena loe orang yang pertama kali gw kasih tahu waktu aku bikin komitmen, maka
loe juga yang harus gw kasih tahu bahwa komitmen itu telah berakhir …” katanya
bersungguh-sungguh.
Percakapan
terhenti sejenak ketika pelayan membawa dua potong Croissant, saya menyebutnya Roti Sabit, secangkir kopi yang masih
mengepul dan segelas Lemon Tea
pesanan saya.
Ternyata
Joe telah bercerai dengan isteri yang sangat dicintai-nya, karena ketahuan
selingkuh dengan suami tetangga yang sangat dia kenal. Semula dia tidak ingin
percaya pada bisikan ini, sampai pada suatu ketika Joe memberanikan diri untuk
memanggil suami-isteri keluarga tersebut dan meminta pengakuan mereka, dan
merekapun mengakuinya. Lantai yang dipijak serasa diguncang gempa 8,5 skala
Richter; tangan Joe memegang erat kursi kayu mahoni, tapi dia tetap berusaha
untuk menahan diri, kulit muka terasa panas dan menebal, dia tarik nafas
dalam-dalam sambil berulang mengucap istighfar.
Malam
itu adalah malam yang paling panjang, seakan pagi tak akan pernah datang lagi.
Burung hantu di dahan pohon rambutan di samping rumah berbunyi nyaring membuat
malam semakin horror.
Joe
merasa apa yang barusan terjadi hanyalah mimpi atau ilusi semata, malam itu dia
bertanya sekali lagi tentang apa yang sudah terjadi; jawaban yang muncul lebih
menyakitkan bahwa kesalahan serupa juga pernah dilakukan sang isteri ketika
anak pertamanya akan merayakan ulang tahun yang pertama, waktu itu
selingkuhannya adalah sopir di kantornya. Gempa susulan ini mungkin berskala 9
SR, tapi Joe sudah pasrah pada Yang Maha Kuasa.
Terbayang
wajah Emak yang sudah mulai keriput, yang menangis tersedu dan tak mau
menghadiri perkawinan Joe yang diselenggarakan sangat sederhana.
Keesokan
harinya Joe mendatangi mertua kapten yang purnawirawan, dan meminta isterinya
untuk menyampaikan pengakuan di hadapan orang-tuanya. Pada dasarnya Joe ingin
semua berakhir baik dengan satu catatan yang perlu digaris bawahi agar
anak-anak tidak usah tahu aib yang menimpa orang-tuanya ini. Joe harus
mengambil keputusan yang amat berat.
“Biarlah
anak-anak akan menghujatku sebagai seorang ayah yang buruk; tapi saya tak ingin
anak-anak kehilangan rasa hormat pada ibunya; bukankah syurga berada di bawah
telapak kaki-ibu ??? “ katanya lirih hampir berbisik.
Saya
terhenyak sambil menatap dalam-dalam wajah kawan yang malang ini. Nyaris tak
percaya cinta yang dia perjuangkan ternyata hanya sebuah fatamorgana, “ Cinta tanpa
rasa hormat tak akan bisa bertahan lama” begitu kata Alexandre Dumas, novelis
dan penulis naskah sandiwara berkebangsaan Perancis yang dikenal dengan
novel-novel historisnya yang sarat dengan petualangan.
Setelah
Joe membayar pesanannya, Joe pamit dan kembali memeluk saya lama sekali,
matanya memerah tapi dia berusaha untuk tetap tegar. “ Aku salut sama loe Brow,
loe tetap tabah …” bisik saya nyaris tak terdengar.
Ya Allah ampuni hamba-Mu yang telah
melampaui batas ini …
Ya Allah Engkaulah Tuhan kami,
tiada Tuhan melainkan Engkau yang telah menciptakan aku dan aku-lah hamba-Mu.
Dan akupun dalam ketentuan serta janji-Mu yang sedapat mungkin aku lakukan. Aku
berlindung kepada-Mu dari segala kejahatan yang aku lakukan, aku mengakui
nikmat-Mu yang Engkau limpahkan kepadaku, dan aku mengakui dosaku, karena itu
berilah ampunan kepadaku, sebab tiada yang dapat memberi ampunan kecuali Engkau
sendiri. Aku memohon perlindungan Engkau dari segala kejahatan yang telah aku
lakukan …
No comments:
Post a Comment