# Tumbuh bersama di rumah-peti.
Sepenggal
kenangan masa kecil, dimana Sembilan bersaudara dibesarkan dalam rumah yang
terbuat dari bekas peti-kayu kemasan mesin.
“
We only live once, but if we work it
right, once is enough “_English
Proverb.
Kita
hidup hanya sekali, tapi bila dimanfaatkan dengan benar, hidup sekali itu sudah
cukup.
Desember 1969.
Direktorat
Meteorologi dan Geofisika diubah namanya menjadi Lembaga Meteorologi dan
Geofisika. Namun demikian lembaga ini masih ada di bawah Direktorat
Jenderal Perhubungan Udara sampai tahun
1972. Demikian saya baca catatan peristiwa yang dihimpun dalam sebuah liputan
media on-line.
Bertepatan
dengan waktu saya kembali bergabung dengan adik-adik saya yang telah terlebih
dahulu bersama Emak kembali ke Jakarta.
Rumah
yang kami tempati didirikan di atas tanah bekas rawa, berukuran lima kali
duabelas meter, terdiri dari: di bagian
depan adalah ruang tamu, di bagian tengah ada kamar yang digunakan tidur oleh
Emak, Bapa dan adik-adik perempuan saya, kemudian di bagian belakang ada
kamar-mandi, dapur dan ruang makan. Di atas-nya ruang yang kami sebut sebagai
loteng yang digunakan sebagai ruang bermain, ruang belajar sekaligus kamar
tidur kami cowok-cowok, 5 bersaudara yang masing-masing hanya selisih dua
tahun, masih ditambah dua lagi saudara sepupu.
Bangunan
ini semi permanen, dinding dengan pasangan bata diplester dan diaci dengan finishing “kalkarim” bahan yang mungkin
tidak lagi digunakan sekarang ini. Kalkarim digunakan sebagai bahan cat dengan
pengencer air, aplikasinya memakai kuas yang terbuat dari bahan merang; banyak
pilihan warna, tapi jangan coba bersandar pada dinding berkalkarim, karena
mudah luntur.
Kembali
kepada istilah semi-permanen, disebut demikian karena hanya “separuh” bangunan
yang menggunakan menggunakan batu (bata) sebatas tinggi pinggang orang-dewasa
saja; selebihnya pada bagian ke atasnya menggunakan papan.
Papan
kami peroleh dalam bentuk peti bekas kemasan suku-cadang kendaraan yang kami
peroleh dari tempat kerja Bapa. Secara gotong-royong kami membongkarnya (un-boxing) menjadi lembaran papan tentu
saja dengan ukuran yang berbeda tergantung dari besar-kecilnya peti. Tapi
hebatnya kami adalah sebuah tim yang satu sama lain sudah tahu tugas
masing-masing. Yang sudah besar biasanya membongkar peti dengan menggunakan
linggis, ada yang menyusun papan yang sudah “bebas-paku” sementara adik-adik
yang masih kecil memunguti paku-paku dan mengumpulkannya pada wadah yang
disediakan.
Ada
banyak hikmah tersembunyi dari papan peti-kemas ini, selain kami dilatih
bekerja dalam tim, tulisan-tulisan atau label yang menempel di atasnya, membuat
kami ‘akrab’ dengan istilah-istilah berbahasa asing, bagaimana tulisannya dan
bagaimana membacanya.
Waktu
rumah ini dibangun, Bapa tidak melibatkan ‘Tukang-upahan”, Bapa membangun rumah
ini hanya dengan bantuan dua saudara laki-lakinya yang salah satunya memang
berprofesi sebagai tukang-kayu di Markas Besar Angkatan Laut. Kerja
gotong-royong seperti ini sulit untuk di duplikasi di jaman sekarang ini,
mungkin kita sudah jadi mahluk ‘mutan”
Lantai
rumah, tegel dengan warna standar abu-abu, keramik tiles belum populer jaman
itu, masih banyak rumah masih berlantai tanah, atau “difloor”, istilah untuk lantai yang dicor adukan semen dan pasir. Tapi
kami bangga dengan lantai kami, atas petunjuk Emak, kami selalu membersihkan
atau mengepel-nya secara teratur dan secara periodik menggosoknya dengan ampas
kelapa sehabis Emak membuat santan; lantai tegel kami selalu
berkilat tak kalah dengan lantai keramik jaman sekarang.
Ruang
di atas ruang multi-guna nyaris tanpa ‘furniture’
selain rak buku-buku pelajaran kami, sehingga kami bisa bebas bergerak bahkan
bergulat seperti anak-kucing.
Istimewa-nya
loteng ini juga adalah ruang aman yang terbebas dari banjir yang datang secara
periodik di daerah tempat tinggal kami ini.
Di
rumah ini, kami mendapat pendidikan Spartan dari Emak, sekalipun sebagian besar
dari kami adalah anak laki-laki, kami diperkenalkan dengan pekerjaan
rumah-tangga. Pembagian tugas jelas, ada yang bertugas menanak nasi,
mencuci-pakaian, belanja ke pasar, menyapu halaman, melap kaca dan kursi,
menyapu dan membereskan kamar. Tugas Emak adalah mengawasi kami dan menyediakan
lauk-pauk untuk kami makan.
Bila
banjir tiba, Emak dan adik-adik perempuan yang masih kecil mengungsi ke atas,
kami yang sudah mulai dewasa malah biasanya turun ke bawah mengamankan
barang-barang yang mudah hanyut dan meletakkannya di atas tempat yang tidak
terjangkau banjir atau tempat yang lebih tinggi.
Belum banyak peralatan listrik
yang digunakan pada waktu itu (atau mungkin karena kami orang miskin ???); peralatan
“listrik” yang ada pada waktu itu baru sebatas radio-transistor yang menggunakan batu battery. Peralatan yang
mendapat prioritas untuk dievakuasi pada waktu itu adalah kompor dan pendaringan. Tentu saja alas tidur,
bantal dan guling.
Tidak
ada raut muka sedih ketika banjir, semua malah bergembira karena tidak ada yang
harus ke kantor dan atau ke sekolah, semua berjaga di sekitar rumah sambil
memunguti sandal, sepatu dan barang-barang yang ikut hanyut terbawa banjir,
bahkan banyak yang sengaja menjala menangkap ikan.
Di
rumah-peti sederhana ini kami dibesarkan dengan penuh kasih-sayang, saling
melindungi, berlatih membangun tim, membangun kerjasama; karena kami merasa
senasib sepenanggungan dimana Emak telah bertindak sebagai mentor sekaligus
instruktur kami yang keras dan berdisiplin.
Dari
“Home Crate University” ini telah menghasilkan 2 orang Master Business, 2 orang
Sarjana Teknik Mesin, 1 orang Arsitek , 1 orang Ahli gigi, 1 orang Ahli Madya
Sipil, 1 orang instalatur peternakan ayam dan 3 orang ibu rumah-tangga mandiri.
Sayang
kami harus kehilangan seorang saudari kami, saudari perempuan pertama yang
sangat Bapa dambakan, dia lebih dahulu dipanggil Sang Pencipta, setelah menikah
dan dikaruniai 2 pasang anak, yang kemudian kami besarkan bersama-sama.
Di
usia yang rata-rata sudah berangkat senja, kami tetap memelihara silaturahim
dan berharap upaya ini menjadi perekat diantara anak-cucu dan keturunan kami.
Usaha ini ditandai dengan menerbitkan Family
Profile yang kami update setiap
tahun.
“Ya Tuhanku, berilah aku ilham
untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan ke padaku dan
kepada kedua ibu-bapakku dan untuk mengerjakan amal-shalih yang Engkau ridhai,
serta berilah kebaikan kepadaku dengan member kebaikan kepada anak-cucuku.
Sungguh aku bertaubat kepada-Mu, dan sungguh aku adalah termasuk dalam golongan
orang-orang yang berserah diri” (QS. Al-Ahqaaf: 15).
No comments:
Post a Comment