Monday, July 25, 2016

2# Tumbuh bersama di rumah-peti.

# Tumbuh bersama di rumah-peti.

Sepenggal kenangan masa kecil, dimana Sembilan bersaudara dibesarkan dalam rumah yang terbuat dari bekas peti-kayu kemasan mesin.

We only live once, but if we work it right, once is enough “_English Proverb.
Kita hidup hanya sekali, tapi bila dimanfaatkan dengan benar, hidup sekali itu sudah cukup.


Desember 1969.

Direktorat Meteorologi dan Geofisika diubah namanya menjadi Lembaga Meteorologi dan Geofisika. Namun demikian lembaga ini masih ada di bawah Direktorat Jenderal  Perhubungan Udara sampai tahun 1972. Demikian saya baca catatan peristiwa yang dihimpun dalam sebuah liputan media on-line.

Bertepatan dengan waktu saya kembali bergabung dengan adik-adik saya yang telah terlebih dahulu bersama Emak kembali ke Jakarta.

Rumah yang kami tempati didirikan di atas tanah bekas rawa, berukuran lima kali duabelas meter, terdiri dari: di bagian depan adalah ruang tamu, di bagian tengah ada kamar yang digunakan tidur oleh Emak, Bapa dan adik-adik perempuan saya, kemudian di bagian belakang ada kamar-mandi, dapur dan ruang makan. Di atas-nya ruang yang kami sebut sebagai loteng yang digunakan sebagai ruang bermain, ruang belajar sekaligus kamar tidur kami cowok-cowok, 5 bersaudara yang masing-masing hanya selisih dua tahun, masih ditambah dua lagi saudara sepupu.

Bangunan ini semi permanen, dinding dengan pasangan bata diplester dan diaci dengan finishing “kalkarim” bahan yang mungkin tidak lagi digunakan sekarang ini. Kalkarim digunakan sebagai bahan cat dengan pengencer air, aplikasinya memakai kuas yang terbuat dari bahan merang; banyak pilihan warna, tapi jangan coba bersandar pada dinding berkalkarim, karena mudah luntur.

Kembali kepada istilah semi-permanen, disebut demikian karena hanya “separuh” bangunan yang menggunakan menggunakan batu (bata) sebatas tinggi pinggang orang-dewasa saja; selebihnya pada bagian ke atasnya menggunakan papan.

Papan kami peroleh dalam bentuk peti bekas kemasan suku-cadang kendaraan yang kami peroleh dari tempat kerja Bapa. Secara gotong-royong kami membongkarnya (un-boxing) menjadi lembaran papan tentu saja dengan ukuran yang berbeda tergantung dari besar-kecilnya peti. Tapi hebatnya kami adalah sebuah tim yang satu sama lain sudah tahu tugas masing-masing. Yang sudah besar biasanya membongkar peti dengan menggunakan linggis, ada yang menyusun papan yang sudah “bebas-paku” sementara adik-adik yang masih kecil memunguti paku-paku dan mengumpulkannya pada wadah yang disediakan.

Ada banyak hikmah tersembunyi dari papan peti-kemas ini, selain kami dilatih bekerja dalam tim, tulisan-tulisan atau label yang menempel di atasnya, membuat kami ‘akrab’ dengan istilah-istilah berbahasa asing, bagaimana tulisannya dan bagaimana membacanya.

Waktu rumah ini dibangun, Bapa tidak melibatkan ‘Tukang-upahan”, Bapa membangun rumah ini hanya dengan bantuan dua saudara laki-lakinya yang salah satunya memang berprofesi sebagai tukang-kayu di Markas Besar Angkatan Laut. Kerja gotong-royong seperti ini sulit untuk di duplikasi di jaman sekarang ini, mungkin kita sudah jadi mahluk ‘mutan”

Lantai rumah, tegel dengan warna standar abu-abu, keramik tiles belum populer jaman itu, masih banyak rumah masih berlantai tanah, atau “difloor”, istilah untuk lantai yang dicor adukan semen dan pasir. Tapi kami bangga dengan lantai kami, atas petunjuk Emak, kami selalu membersihkan atau mengepel-nya secara teratur dan secara periodik menggosoknya dengan ampas kelapa  sehabis  Emak membuat santan; lantai tegel kami selalu berkilat tak kalah dengan lantai keramik jaman sekarang.

Ruang di atas ruang multi-guna nyaris tanpa ‘furniture’ selain rak buku-buku pelajaran kami, sehingga kami bisa bebas bergerak bahkan bergulat seperti anak-kucing.

Istimewa-nya loteng ini juga adalah ruang aman yang terbebas dari banjir yang datang secara periodik di daerah tempat tinggal kami ini.

Di rumah ini, kami mendapat pendidikan Spartan dari Emak, sekalipun sebagian besar dari kami adalah anak laki-laki, kami diperkenalkan dengan pekerjaan rumah-tangga. Pembagian tugas jelas, ada yang bertugas menanak nasi, mencuci-pakaian, belanja ke pasar, menyapu halaman, melap kaca dan kursi, menyapu dan membereskan kamar. Tugas Emak adalah mengawasi kami dan menyediakan lauk-pauk untuk kami makan.

Bila banjir tiba, Emak dan adik-adik perempuan yang masih kecil mengungsi ke atas, kami yang sudah mulai dewasa malah biasanya turun ke bawah mengamankan barang-barang yang mudah hanyut dan meletakkannya di atas tempat yang tidak terjangkau banjir atau tempat yang lebih tinggi. 

Belum banyak peralatan listrik yang digunakan pada waktu itu (atau mungkin karena kami orang miskin ???); peralatan “listrik” yang ada pada waktu itu baru sebatas radio-transistor yang menggunakan batu battery. Peralatan yang mendapat prioritas untuk dievakuasi pada waktu itu adalah kompor dan pendaringan. Tentu saja alas tidur, bantal dan guling.

Tidak ada raut muka sedih ketika banjir, semua malah bergembira karena tidak ada yang harus ke kantor dan atau ke sekolah, semua berjaga di sekitar rumah sambil memunguti sandal, sepatu dan barang-barang yang ikut hanyut terbawa banjir, bahkan banyak yang sengaja menjala menangkap ikan.

Di rumah-peti sederhana ini kami dibesarkan dengan penuh kasih-sayang, saling melindungi, berlatih membangun tim, membangun kerjasama; karena kami merasa senasib sepenanggungan dimana Emak telah bertindak sebagai mentor sekaligus instruktur kami yang keras dan berdisiplin.

Dari “Home Crate University” ini telah menghasilkan 2 orang Master Business, 2 orang Sarjana Teknik Mesin, 1 orang Arsitek , 1 orang Ahli gigi, 1 orang Ahli Madya Sipil, 1 orang instalatur peternakan ayam dan 3 orang ibu rumah-tangga mandiri.

Sayang kami harus kehilangan seorang saudari kami, saudari perempuan pertama yang sangat Bapa dambakan, dia lebih dahulu dipanggil Sang Pencipta, setelah menikah dan dikaruniai 2 pasang anak, yang kemudian kami besarkan bersama-sama.

Di usia yang rata-rata sudah berangkat senja, kami tetap memelihara silaturahim dan berharap upaya ini menjadi perekat diantara anak-cucu dan keturunan kami. Usaha ini ditandai dengan menerbitkan Family Profile yang kami update setiap tahun.

“Ya Tuhanku, berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan ke padaku dan kepada kedua ibu-bapakku dan untuk mengerjakan amal-shalih yang Engkau ridhai, serta berilah kebaikan kepadaku dengan member kebaikan kepada anak-cucuku. Sungguh aku bertaubat kepada-Mu, dan sungguh aku adalah termasuk dalam golongan orang-orang yang berserah diri” (QS. Al-Ahqaaf: 15).

No comments:

Post a Comment